Blog

Gasifikasi residu kelapa sawit: Membantu Indonesia ‘go renewable’

(English version here.)

Pertamina, BUMN energi yang telah lama bergerak di sektor minyak dan gas mulai melirik bahan bakar fosil lainnya, yakni batubara. Mengapa batubara, dan mengapa sekarang? Batubara dapat dikonversi menjadi bahan bakar gas cair, seperti dimethyl ether atau DME, gas bersih dan tidak berwarna yang mirip dengan liquefied petroleum gas atau LPG, dimana DME dapat dicampurkan hingga 30% untuk digunakan di kompor tanpa perlu merubah perangkat kompor. Penggunaan DME sebagai bahan bakar pengganti LPG telah dilakukan untuk keperluan rumah tangga di China. Namun, ada alternatif lain selain menggunakan batubara yang memungkinkan Indonesia mengurangi ketergantungan pada impor dan mencapai target energi terbarukan.

Pertamina akan berinvestasi untuk memproduksi DME sebagai pengganti LPG impor yang mendominasi pasar energi hilir di Indonesia. Selama lima tahun terakhir, konsumsi LPG nasional meningkat rata-rata 5,3% setiap tahun. Pada 2018, data dari BPS menunjukkan sekitar 77% dari total 70.000 rumah tangga di Indonesia menggunakan LPG untuk memasak, dan pada 2019, penjualan LPG di pasar domestik tercatat 7, 31 juta MT. Sekitar 74% LPG diimpor dari Singapura, Australia, Malaysia dan beberapa negara di Timur Tengah. Proyek gasifikasi batubara untuk menghasilkan DME akan dapat membantu Indonesia mengurangi impor LPG dan membantu mengurangi defisit perdagangan. Pertamina berencana untuk menginvestasikan 2,5 miliar dolar AS untuk membangun 4 pabrik DME, dan untuk proyek tersebut, Pertamina bersama dengan BUMN pertambangan PT Bukit Asam, bermitra dengan perusahaan Amerika, Air Products and Chemicals, Inc.

Pertamina berencana untuk memproduksi DME melalui proses yang disebut gasifikasi, yang sudah mulai diteliti sejak Perang Dunia II dengan menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk kendaraan. Laporan ICCT yang sebelumnya menjelaskan lebih rinci, dengan menggunakan oksigen, namun tidak sebanyak yang digunakan untuk pembakaran, gasifikasi mengubah batubara, biomassa, atau limbah organik menjadi syngas, yakni campuran hidrogen, karbon monoksida dan karbon dioksida. Syngas dapat dibakar untuk menghasilkan tenaga listrik atau digunakan untuk membuat bahan bakar hidrokarbon cair dan gas, seperti metana, solar, dan etanol. Untuk mengubah syngas menjadi DME, pertama-tama syngas harus dikonversi menjadi metanol dengan menggunakan katalis. Kemudian, dengan menggunakan katalis yang berbeda, masuk ke proses selanjutnya yang disebut methanol dehydration dan kemudian menjadi DME.

Industri kelapa sawit Indonesia cukup besar, sehingga banyak menghasilkan residu kelapa sawit, seperti batang kelapa sawit, tandan kosong, cangkang sawit, serat buah, dan pelepah kelapa sawit, yang dapat digunakan untuk menghasilkan DME. Penggunaan bahan baku tersebut untuk gasifikasi adalah pilihan yang tepat, karena sebagian besar residu kelapa sawit saat ini tidak digunakan, dan penggunaannya akan membantu mewujudkan ambisi pemerintah untuk mengurangi defisit perdagangan dengan memproduksi DME dari sumber daya domestik daripada mengimpor LPG.

Gambar di bawah menunjukkan perbedaan emisi gas rumah kaca dari produksi DME dari batubara atau residu hutan, yang memiliki kesamaan dengan residu kelapa sawit dalam hal dampak iklim. Seperti yang ditunjukkan, DME dari batubara memiliki intensitas karbon 20 kali lebih banyak dibandingkan dengan DME dari residu kelapa sawit. Dengan demikian, menggunakan residu kelapa sawit sebagai pengganti batubara untuk memproduksi DME akan membantu Indonesia mencapai target dalam Rencana Umum Energi Nasional yakni 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Pada awal 2020, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperkirakan penggunaan energi terbarukan saat ini hanya mencapai 12,4%, jauh dari target RUEN, dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) memprediksi bahwa Indonesia kemungkinan tidak akan mencapai target pada tahun 2025. Oleh karena itu, ada peluang unik bagi Indonesia untuk memenuhi target energi terbarukan dalam waktu yang terbatas ini dengan mendukung pengembangan gasifikasi residu kelapa sawit. Selain itu, DME dari biomassa juga dapat membantu Indonesia memenuhi target perubahan iklim dalam Paris Agreement, yakni pengurangan 29% di bawah business-as-usual (BAU) pada tahun 2030.

Para peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) melaporkan bahwa 39.3% dari total biomassa yang tersedia di Indonesia merupakan residu kelapa sawit. Laporan ICCT juga memperkirakan sekitar 34 juta metrik ton residu kelapa sawit tersedia setiap tahunnya di Indonesia, dan sekitar 32% residu tersebut dapat digunakan tanpa menimbulkan dampak negatif pada kualitas tanah atau hasil kelapa sawit dan residu tersebut dapat digunakan untuk proses gasifikasi.

Gasifikasi biomassa dapat dilakukan di fasilitas tersendiri (stand-alone) atau dapat digabungkan dengan batubara. Seperti yang ditunjukkan pada gambar di atas, ada perbedaan signifikan pada intensitas karbon antara keduanya yang pada akhirnya akan berpengaruh pada emisi gas rumah kaca yang besar dari produksi DME vs residu kelapa sawit. Menggabungkan residu kelapa sawit dengan batubara bisa menjadi pilihan bagi Pertamina – dengan tingkat campuran 50/50 residu kelapa sawit dan batubara sehingga masih dapat mengurangi intensitas karbon DME menjadi setengahnya.

Tidak dipungkiri bahwa batubara adalah pilihan yang murah untuk gasifikasi, dan memiliki nilai kalori yang tinggi dan efisien untuk dikonversi menjadi syngas. Namun, batubara adalah bahan bakar fosil yang mengandung karbon intensif. Sebagai alternatif untuk batubara, Indonesia dapat memanfaatkan residu kelapa sawitnya yang berlimpah sebagai bahan baku gasifikasi. Residu kelapa sawit tidak hanya sebagai bahan baku yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, tetapi penggunaanya dalam gasifikasi untuk memproduksi DME akan membantu Indonesia meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan memenuhi target pengurangan NDC.

Alternative fuels
Fuels
Fuels